Wednesday 13 April 2016

Istri tidak wajib memasak ???

Pekerjaan Rumah Tangga (mencuci, memasak, bersih2, dll), Bukan Kewajiban Istri?


Ustadzah, apakah benar dalam Islam tidak ada kewajiban mencuci baju suami dan memasak makanan? Bagaimana dengan pandangan konservatif soal kewajiban istri ini? Terima kasih.

Jawaban dari Majalah Ummi:

Pertanyaan ini sangat menarik, karena tradisi yang berkembang di masyarakat kita di antara kewajiban seorang istri adalah mengurus rumah tangga dengan pekerjaan mencuci, memasak, dan lainnya. Sementara tradisi yang berkembang di Timur Tengah, yang biasa belanja ke pasar adalah para suami, dan pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami dengan menggaji pekerja rumah tangga.

Lalu benarkah dalam Islam tidak ada kewajiban melakukan itu semua bagi seorang istri? Para ulama berbeda pandangan dalam hal ini sebab tidak ada dalil secara eksplisit yang menyebutkan kewajiban memasak dan mencuci dibebankan kepada istri atau menjadi tanggung jawab suami.

Apakah istri wajib melakukan pekerjaan rumah? Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam kitabnya Al-Wajiz Fi Ahkamil Usroh al-Islamiyah dan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa sebagian fuqaha berpandangan seorang suami tidak boleh menuntut istrinya secara hukum untuk melakukan pekerjaan rumah. Karena akad nikah yang terlaksana antara mereka berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul antara suami istri untuk menjaga kehormatan diri dan menghasilkan keturunan.

Pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak termasuk dalam ruang lingkup kewajiban yang harus disediakan suami dalam kehidupan rumah tangga. Pandangan ini diwakili oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan az-Zhahiriyah. Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa istri harus melayani suaminya hanya menunjukkan sifat kerelaan dan keluhuran budi.

Seperti kisah Asma’ binti Abu Bakar yang dinikahi oleh az-Zubair yang miskin tidak memiliki harta dan budak, sehingga Asma' turut mengambil air, memberi makan kuda, membuat roti, bahkan membawa biji-biji kurma di atas kepalanya dari kebun Zubair yang diberi Rasulullah saw.

Imam Nawawi mengomentari kisah ini dalam Syarh an-Nawawi. “Semua ini termasuk kepatutan (apa yang telah dilakukan Asma’ binti Abu Bakar tersebut), bahwa wanita melayani suaminya dengan hal-hal yang telah disebutkan itu (seperti memasak, mencuci pakaian, dan lainnya), semua itu merupakan sumbangan dan kebaikan wanita kepada suaminya, pergaulan yang baik, perbuatan yang makruf, yang tidak wajib sama sekali atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya maka ia tidak berdosa.”

Dalam haditsnya, Rasulullah menjelaskan tentang tanggung jawab kepemimpinan. “Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Khadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya,” (HR Bukhari).

Abdul Halim Abu Syuqqoh dalam Tahrirul Mar’ah mengomentari kalimat “Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya”. Menurutnya, bukan berarti wanita harus melaksanakan sendiri semua tugas rumah tangganya, mulai dari menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika hingga membersihkan rumah. Tapi yang dimaksud adalah, semua itu merupakan tanggung jawab (pengawasannya), namun bisa dilaksanakan orang lain seperti pekerja rumah tangga (pembantu), anak-anak, kerabat atau dibantu suaminya sendiri. Maka semua itu bergantung pada kemampuan nafkah dan finansial suami, juga kesempatan dan kemampuan istri untuk melaksanakannya dengan tidak mengabaikan tugas utama yang lainnya, yaitu merawat anak-anak dan mendidiknya dengan baik.

Sementara fuqaha yang lain berpendapat, melayani suami dan melakukan pekerjaan rumah merupakan kewajiban istri. Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang perempuan telah mengerjakan shalat fardhu lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”

Maka seorang istri, ketika diperintahkan suaminya untuk mencuci dan memasak, ia harus menaatinya. Karena melayani suami dengan memasakkan makanan dan mencuci pakaiannya merupakan bagian dari ketaatan pada suami. Nabi saw dan para sahabat Nabi menyuruh istri-istrinya membuatkan roti, memasak, membersihkan tempat tidur, menghidangkan makanan, dan sebagainya. Tidak seorang pun dari mereka yang menolak pekerjaan tersebut.

Terlepas dari dua pandangan yang berbeda tersebut, pada prinsipnya, hubungan suami istri dalam Islam dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, saling percaya, saling tolong menolong dalam suka dan duka. Seluruh urusan dalam rumah tangga berlandaskan saling ridha dan musyawarah. Masing-masing pihak ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka harus saling menasihati, saling membantu untuk menunaikan tanggung jawab kehidupan suami istri serta pemeliharaan anak-anak dan pendidikan mereka dalam setiap situasi dan kondisi. Rumah tangga tidak akan harmonis jika hubungan yang dibangun atas penuntutan hak, bersifat hitam putih, kaku dan saklek.

Semoga Allah memberkahi istri-istri yang menghabiskan hari-harinya untuk mendidik anak dan memelihara rumah tangganya dengan mengharapkan ridha Allah semata. Dan semoga Allah memberkahi suami-suami yang menghabiskan masa hidupnya dalam berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, anak-anaknya, dan tulus membantu istrinya dalam mengerjakan tugas-tugas rumahnya. Semoga Allah meridhai rumah tangga yang dibangun atas azas wata’awanu ‘alal birri wat taqwa, saling menolong dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan. Wallahu a’lam.


=================================

catatan:

Banyak ulama sejak zaman dahulu berpendapat bahwa pekerjaan rumah tangga bukan kewajiban bagi istri,

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menyatakan:
apakah mengurus pekerjaan rumah itu wajib bagi istri ataukah tidak. Menurut jumhur atau mayoritas ulama pekerjaan tersebut tidaklah wajib.

===============

ustadz Hidayat Mustafid Lc MA menyatakan:
Termasuk hak seorang isteri yang wajib dipenuhi suami adalah menyediakan pelayan karena hal itu termasuk mu’asyarah bil ma’ruf dan hal itu sangat dibutuhkan dalam sepanjang waktu. (kecuali istri yg menolak diberi pelayan)

ustadz Hidayat Mustafid Lc MA menyatakan: Dalam menentukan sejauh mana seorang isteri harus atau tidak melayani suami perlu dilihat dari sudut pandang para ulama dalam masalah ini. Yang dimaksud dengan melayani di sini adalah bukan hal melayani kebutuhan biologis sang suami karena masalah melayani kebutuhan biologis merupakan kewajiban mutlak. Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah wajib atau tidaknya seorang isteri melayani suaminya. Para ulama dalam madzhab Syafi’i, Hanbali, dan sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa isteri tidak wajib melayani suaminya, tapi utamanya ia melakukan apa yang sudah berjalan dalam kebiasaan masyarakat umumnya. Sementara para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa seorang isteri wajib melayani suami (ديانة لا قضاء), artinya, dalam penilaian agama hal itu wajib, tapi ketika dipermasalahkan di mahkamah maka sang suami tidak dapat dimenangkan dalam masalah ini.

=============

Ustadz Ahmad Sarwat Lc MA menyatakan:

Meski ada khilaf (perbedaan pendapat) juga di tengah ulama dalam hal ini, namun mazhab As-Syafi`i dan banyak mazhab lainnya yang secara tegas menyebutkan bahwa pada dasarnya pernikahan itu hanya mewajibkan seorang istri untuk melayani suaminya secara seksual saja, tidak lebih. Yang wajib memasak, belanja, menyapu, mengepel, mencuci pakaian, beres-beres rumah, sampai urusan kebutuhan rumah tangga, bukan istri tetapi suami.
(jika suami tidak bisa atau tidak mau mengerjakannya sendiri maka bisa menyewa tenaga kerja / pembantu).

Aneh?

Nggak juga.

Kalau pun istri melakukan semua itu, sifatnya hanya membantu saja, tidak ada kewajiban dari langit atas seorang wanita untuk dipaksa melakukan semua itu.

Sebab seorang istri bukanlah pembantu. Istri adalah wanita yang mulia, dia adalah ratu dalam rumahnya.

(dikutip dari Ustadz Ahmad Sarwat Lc MA)

===========

Pendapat 5 Mazhab Fiqih

Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih para ulama, terutama mazhab-mazhab yang besar dan muktamad, kita akan menemukan bahwa pendapat mereka umumnya cenderung mengatakan bahwa para wanita tidak wajib melakukan semua pekerjaan pembantu.

Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.

a. Mazhab al-Hanafi

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan :

Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan:

Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

b. Mazhab Maliki

Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan:

Wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.

c. Mazhab As-Syafi'i

Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan:

Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

d. Mazhab Hanabilah

Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

e. Mazhab Az-Zhahiri

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.

Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.

(dikutip dari Ustadz Ahmad Sarwat Lc MA)

No comments:

Post a Comment