Wednesday 13 April 2016

ISTRI BOLEH BEKERJA ?



Polemik antara wanita bekerja dan tidak bekerja selalu menjadi pembicaraan hangat sepanjang masa. Mulai dari obrolan santai, sampai omongan yang menyakitkan. Tak jarang terjadi pertengkaran yang cukup sengit sehingga menyebabkan permusuhan dan keresahan.
Bagaimana Islam memandang hal ini? Berikut ini ada beberapa tuntunan Islam mengenai wanita bekerja

1. Bekerja dan berkarya  merupakan perintah Islam untuk seluruh ummatnya. Termasuk laki-laki dan perempuan. Islam menghendaki semua manusia untuk bisa mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Bahkan potensi itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Islam tidak memberi ruang untuk kemalasan. Islam tidak menyukai orang yang diam tak bergerak. Dalam Islam, sebaik-baik orang adalah yang senantiasa beramal shalih, dan paling bermanfaat untuk orang lain, bukan hanya untuk dirinya sendiri saja.
Jangan sampai seorang wanita bermalas-malasan, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang itidak bermanfaat, bergosip, menonton TV dan hal-hal lain yang berisi kesia-siaan.
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian, maka Allah, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
“Kami telah menjadikan untukmu semua didalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan (bekerja) ; Tetapi sedikit sekali diantaramu yang bersyukur.” (QS. A’raf : 10)
“ Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seseorang pekerja apabila ia berbuat sebaik-baiknya (propesional).” (HR. Ahmad)

2. Wanita bekerja bukan untuk mengambil alih tugas kepala keluarga untuk mencari nafkah. Dalam Islam, suami berkewajiban menafkahi keluarganya. Bahkan jikalau istri memiliki penghasilan yang lebih besar, kewajiban mencari nafkah itu tidak menjadi gugur.

Setiap suami akan dimintai pertanggungjawaban mengenai nafkah keluarganya di akhirat kelak. Hendaknya suami tidak menyuruh istri mengambil alih pekerjaannya. Sebagai seorang laki-laki, suami harus memiliki martabat yang tinggi yang bisa menumbuhkan rasa  hormat dari keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Suami yang bijaksana adalah suami yang senantiasa memberi support agar istrinya bisa berkembang dan berkarya, namun bukan dalam konteks eksploitasi istri untuk kepentingan pribadinya.

Istri sholihah adalah istri yang bisa membantu suami melaksanakan kewajibannya, bukan mengambil alih kewajiban tersebut.

3. Wanita bekerja setelah segala kewajibannya terlaksana. Istri boleh bekerja atas izin dan ridha suaminya. Kewajiban istri yang paling utama adalah mentaati dan melayani suaminya dalam hal yang diperintahkan Islam, serta mendidik anak-anaknya. Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.

Ridha Allah pada  seorang istri berada dalam ridha suaminya.  Jangan sampai sesuatu yang hukumnya ‘BOLEH (MUBAH)’ membuat wanita melalaikan yang ‘WAJIB’. Karena meninggalkan yang wajib akan mendapatkan dosa, sedangkan meninggalkan yang mubah tidak mengapa.

4. Wanita bekerja bukan untuk mendapatkan kebebasan dan superioritas atas suami. Wanita bekerja bukan agar dia tidak lagi membutuhkan suami dan tidak perlu taat lagi pada suaminya. Banyak yang menganjurkan wanita bekerja agar ‘aman’, tidak bergantung pada suami dan tidak khawatir kalau suami macam-macam.

Pernikahan adalah suatu ikatan yang sakral dan suci. Istri dan suami perlu berjuang mempertahankan rumahtangganya, bukan masing-masing mengamankan posisinya dan tidak peduli akan keutuhan rumahtangganya. Keluarga dibangun untuk mengembalikan kemuliaan ummat, membangun kembali peradaban Islam dengan lahirnya generasi yang sholeh, terdidik dan terawat dengan baik.

Pola pikir yang mengajarkan istri untuk bebas dari suaminya ini adalah pola pikir yang kelak akan menghancurkan bangunan keluarga. Seorang istri yang bekerja dengan tujuan bisa bebas dari suaminya, menunjukkan rapuhnya ikatan pernikahan yang dibangun. Istri dengan pola pikir seperti ini cenderung lebih mudah menuntut cerai.

Di berbagai belahan dunia, pemikiran kebebasan ini telah terbukti menghancurkan ikatan keluarga. Di dunia barat angka pernikahan terus turun seiring enggannya masyarakat terikat dengan pernikahan. Akibatnya tingkat pertumbuhan penduduk juga mengalami penurunan yang signifikan. Di dunia timur pun angka perceraian semakin tinggi seiring meningkatnya jumlah wanita bekerja. Kondisi ini tampak jelas di beberapa negara seperti Indonesia, Bangladesh, India, Filipina, dll.

Secara sosial, hancurnya ikatan keluarga menyebabkan maraknya berbagai permasalahan seperti perselingkuhan, kenakalan anak dan remaja, disorientasi seksual, pergaulan bebas untuk memenuhi kebutuhan biologi, penyakit menular seksual, penggunaan narkoba dan obat-obatan, anak-anak yang lahir di luar pernikahan, depresi dan bunuh diri.

5. Wanita yang harus bekerja untuk menunaikan fardhu kifayah adalah pengecualian. Ada beberapa wanita yang memiliki tingkat keahlian yang teramat tinggi untuk menyelesaikan permasalahan ummat sehingga tidak mungkin didelegasikan kepada orang lain, termasuk laki-laki. Ada pula beberapa kondisi-kondisi khusus yang membutuhkan wanita sebagai pemegang peran utama di dunia publik. Dalam kondisi ini, perlu disiapkan support system yang bisa mendukung peran wanita tersebut dalam kiprahnya di luar rumah. Pihak-pihak terkait perlu memikirkan pendidikan anak-anaknya, memberi ruang dan waktu yang lebih fleksible agar dia tetap bisa melaksanakan kewajibannya, menyediakan asisten, supir, pembantu yang cukup agar dia bisa fokus pada pekerjaan-pekerjaan utamanya saja, dan mendelegasikan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh orang lain kepada orang lain.

6. Dalam dunia kerja, wanita harus senantiasa menjaga diri dan kehormatannya. Bekerja yang hukumnya mubah, jangan menjadi pembuka peluang masuknya syetan untuk melakukan yang haram. Bercampur baur dan bergaul bebas dengan rekan lain jenis, melakukan kemaksiatan dengan dalih tuntutan pekerjaan, melakukan pekerjaan yang menghilangkan fitrah kewanitaannya, bekerja melampaui batas waktu wajar hingga melalaikan ibadah dan kewajiban lainnya adalah hal-hal yang harus dihindari di dunia kerja. Hendaknya seorang wanita bekerja tetap bersikap bijaksana, mampu menentukan prioritas hidupnya dan tidak menjadi budak pekerjaannya. Sedapatnya dia menjadi pengendali pekerjaannya, bukan menjadi orang yang dikendalikan pekerjaan.

7. Wanita bekerja tentu akan mengurangi porsinya dalam keluarga, terutama terkait pendidikan anak-anaknya. Pastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan mengorbankan banyak hal itu adalah pekerjaan yang betul-betul layak untuk dilakukan. Pastikan bahwa hasil dan manfaat yang dicapai sebanding dengan pengorbanan yang telah diberikan.

8. Setiap wanita perlu mengingat bahwa segala aktivitas yang dilakukan adalah dalam rangka ibadah pada Allah. Banyak kondisi tidak ideal yang mungkin muncul. Karenanya, perlu lebih banyak menguatkan hubungan dengan Allah. Jangan berhenti berdialog dan berdo'a pada Allah atas segala permasalahan yang timbul. Mohonlah bimbingan dan hidayahNya agar selalu ditunjukkan jalan yang terbaik. Jadikan Allah tempat konsultasi utama sebelum  berkonsultasi pada orang lain. Rasakan bimbingan Allah dalam perasaan tenang yang menghinggapi hati kita. Karena dengan ingat pada Allah hati kita menjadi tenang.

No comments:

Post a Comment